Prof. Teeuw (budayawan/sastrawan asal Belanda) menyatakan bahwa masyarakat
Indonesia masih berada pada tahap tradisi kelisanan (orality) yang
beranjak menuju keberaksaraan (literacy) atau menuju budaya baca. Akan
tetapi, di pihak lain masyarakat Indonesia sudah berada pada tahap
pasca-keberaksaraan (post-literacy). Hal itu ditandai dengan kian
maraknya teknologi modern yang dimanfaatkan sebagai sarana komunikasi canggih.
Oleh karenanya, budaya baca masyarakat Indonesia dapat dikatakan identik dengan
pertumbuhan kota-kota satelit. Kaki kanan berpijak pada "tanah"
tradisional, sementara kaki kirinya berpijak pada "tanah" modern.
Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan besar-besaran yang dilakukan di
tanah air tercinta ini telah menjadikan masyarakat melek huruf. Akan tetapi,
dapat dipertanyakan sejauhmana makna kemelekhurufan masyarakat kita? Apakah
hanya sekadar dapat membaca huruf-huruf yang dirangkai menjadi kata atau
kalimat.
Makna Melek Huruf
Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (sastrawan) pernah menjelaskan bahwa ketika
pendidikan belum tersebar luas, bagi siapa pun, melek huruf dapat berarti
sekadar mampu membaca dan menulis. Namun, kita sekarang tidak hidup pada zaman
seperti itu. Artinya, kemelekhurufan masyarakat seharusnya berkembang menjadi
makna mengetahui secara luas pikiran dan perasaan sebagai buah kebudayaan, dan
mempunyai kemampuan secara baik untuk menyampaikan gagasan-gagasannya secara
lisan dan tulis.
Di negeri yang telah sukses menyelenggarakan pendidikan, sehingga
menjadikan masyarakat melek huruf, idealnya budaya baca tumbuh dengan baik dan
segala macam bacaan dapat tersedia. Setelah kita bebas dari kegelapan (bebas
"tiga buta": membaca, menulis, dan berhitung) tentu kita membutuhkan
banyak bacaan. Kita membutuhkan sejumlah besar bacaan yang sesuai dengan
kondisi kemelekhurufan masyarakat saat ini.
Untuk memenuhi harapan tersebut bukanlah pekerjaan
yang mudah. Banyak sekali kendala yang menghadang. Dan, persoalan yang mendasar
ialah sangat kentalnya budaya lisan yang masih melekat pada masyarakat.
Sesungguhnya telah terjadi lompatan budaya pada masyarakat kita, yaitu dari
budaya lisan ke budaya berburu informasi instan melalui teknolgi elektronik.
Sementara kebiasaan membaca belum pernah menjadi kebutuhan (budaya). Maka tidak
heran jika human development index (HDI) berdasarkan angka buta huruf menunjukan
bahwa Indonesia menempati urutan ke-112 dari 174 negara di dunia yang
dievaluasi, sedangkan Vietnam menempati urutan ke-109. Padahal, Vietnam baru
saja keluar dari konflik politik yang cukup besar. Hal itu tidak lain akibat
membaca belum menjadi kebutuhan hidup dan belum menjadi budaya bangsa kita.
Adalah sangat realistik jika dalam menindaklanjuti melek huruf menuju
pembudayaan membaca, tanggung jawabnya dikembalikan kepada pemerintah,
masyarakat, dan keluarga. UNESCO telah menyatakan bahwa pengaruh yang
paling besar dalam menumbuhkan minat baca adalah datang dari lingkungan
keluarga. Selanjutnya adalah lingkungan sekolah karena hampir seperempat waktu
hidup anak berada di sekolah. Adapun lingkungan yang terakhir adalah
masyarakat: apakah tempat bermain, tempat bekerja, tempat beribadah, atau yang
lain.
Kendala Minat Baca
Minat baca masyarakat tidak pernah mendapat perhatian
yang serius. Pendidikan yang dilakukan masih terbatas pada pelajaran teoretis,
belum menyentuh pada aspek pembiasaan belajar mandiri, yaitu melalui
pembudayaan membaca. Guru sibuk memenuhi tuntutan agar bagaimana siswanya dapat
menjawab soal ujian nasional (UN) yang bersifat sangat kognitif. Jika sistem
pendidikan di bangku sekolah yang dikembangkan hanya aspek kognitif dan
hafalan-hafalan, bangsa ini tidak akan berubah.
Ketika melihat siswa sedang membuka buku maka sudah dapat ditebak bahwa
mereka sedang menghafalkan materi pelajaran. Betapa sibuknya para siswa untuk
mengejar target agar dapat mengerjakan soal-soal ujian. Mereka mengikuti
bimbingan belajar, tambahan jam pelajaran di sekolah, les privat, dan
mengerjakan PR. Semuanya dikerjakan berdasarkan instruksi-instruksi. Tidak ada
kesempatan untuk mengembangkan dengan cara belajar mandiri melalui bacaan dan
mencari informasi yang sesuai dengan keinginan mereka. Akibatnya belajar
dianggap sebagai hukuman atau kegiatan yang menyiksa.
Soeharto (penguasa
Orde Baru) pernah membuat beberapa instruksi (inpres) terkait dengan
pembudayaan membaca. Ketika peringatan Hardiknas '95, Soeharto (ketika itu
Presiden RI) menginstruksikan kepada para orang tua untuk menjadikan "buku
sebagai sahabat keluarga". Kemudian, hal itu ditindaklanjuti dengan
dijadikannya September sebagai bulan kunjung perpustakaan. Lantas, tanggal 7
Desember 1995, Soeharto mencanangkan “Gerakan Wakaf Buku Nasional”. Sayang,
instruksi presiden itu hanya menjadi pepesan kosong belaka atau lebih sebagai
pencitraan semata.
Benar apa kata
Charles ”Fremendeous” Jones, bahwa hari ini Anda adalah orang yang sama dengan
Anda pada lima tahun mendatang, kecuali dua hal: peran orang-orang di sekeliling
Anda dan buku-buku yang Anda baca. Orang di sekeliling kita yang terdekat ialah
keluarga. Masih sangat jarang dalam sebuah keluarga ada atmosfir yang mendukung
tumbuhnya minat baca. Keteladanan orang tua, ketersediaan bacaan, ruang dan
waktu untuk membaca masih menjadi barang langka. Buku belum dijadikan sebagai
teman utama dalam lingkungan keluarga.
Fungsi Perpustakaan
Perpustakaan adalah
sebagai agen menumbuhkan budaya baca masyarakat. Jika masyarakat menganggap
bahwa mahalnya harga bahan bacaan sebagai penyebab tumbuhnya minat baca,
jawaban untuk memperoleh bahan bacaan ada di perpustakaan. Dengan kata lain,
jika dikatakan bahwa rendahnya minat baca masyarakat disebabkan oleh mahalnya
bahan bacaan (buku) tampak kurang beralasan.
Keberadaan perpustakaan
harus terus diberdayakan, dari perpustakaan keluarga, RT, RW, desa,
perpustaakaan instansi, hingga perpustakaan nasional, dan bahkan pada
perpustakaan di tempat-tempat ibadah. Memang sudah banyak perpustakaan di
mana-mana, tetapi masih bersifat sebagai pelengkap dan hiasan semata.
Masyarakat belum tergugah terhadap keberadaan perpustakaan, bahkan masih banyak
yang bersikap apriori. Pengunjung perpustakaan setiap hari masih dapat dihitung
dengan jari sebelah tangan.
Perkembangan lembaga perpustakaan saat ini sebenarnya telah menjadi
"agen" pelayanan informasi bagi masyarakat kontemporer. Lembaga
perpustakaan akan terus menyempurnakan perannya sebagai "hutan"-nya
ilmu pengetahuan. Karenanya, para pustakawan dituntut mengambil peran yang
besar sebagai cermin sentral dalam menumbuhkan minat baca masyarakat dan
pendidikan sepanjang hayat. Pustakawan bukan hanya ”tukang”, yang pekerjaannya
hanya menjaga, menata buku, dan melayani peminjaman.
Langkah sejarah telah membawa perpustakaan memasuki zaman educational
and research function. Dengan paradigma itu telah mengangkat perpustakaan
pada kedudukan yang terhormat, yaitu sebagai pusat kegiatan pendidikan dan
aktivitas ilmiah. Pustakawan sangat berkepentingan mengambil peran yang
mendasar, seperti dalam perencanaan dan pembinaan sistem pendidikan, penyuluhan
dan bimbingan di dalam proses belajar mengajar, serta membangkitkan gairah
kepada masyarakat untuk selalu memanfaatkan perpustakaan dalam meningkatkan
kualitas hidupnya.
Posting Komentar