Politik    Sosial    Budaya    Ekonomi    Wisata    Hiburan    Sepakbola    Kuliner    Film   
Home » » MELEK HURUF DAN BUDAYA BACA MASYARAKAT

MELEK HURUF DAN BUDAYA BACA MASYARAKAT

Posted by SKB Bireuen on Kamis, 12 Mei 2016

Prof. Teeuw (budayawan/sastrawan asal Belanda) menyatakan bahwa masyarakat
Indonesia masih berada pada tahap tradisi kelisanan (orality) yang beranjak menuju keberaksaraan (literacy) atau menuju budaya baca. Akan tetapi, di pihak lain masyarakat Indonesia sudah berada pada tahap pasca-keberaksaraan (post-literacy). Hal itu ditandai dengan kian maraknya teknologi modern yang dimanfaatkan sebagai sarana komunikasi canggih. Oleh karenanya, budaya baca masyarakat Indonesia dapat dikatakan identik dengan pertumbuhan kota-kota satelit. Kaki kanan berpijak pada "tanah" tradisional, sementara kaki kirinya berpijak pada "tanah" modern.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pendidikan besar-besaran yang dilakukan di tanah air tercinta ini telah menjadikan masyarakat melek huruf. Akan tetapi, dapat dipertanyakan sejauhmana makna kemelekhurufan masyarakat kita? Apakah hanya sekadar dapat membaca huruf-huruf yang dirangkai menjadi kata atau kalimat.

Makna Melek Huruf

Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono (sastrawan) pernah menjelaskan bahwa ketika pendidikan belum tersebar luas, bagi siapa pun, melek huruf dapat berarti sekadar mampu membaca dan menulis. Namun, kita sekarang tidak hidup pada zaman seperti itu. Artinya, kemelekhurufan masyarakat seharusnya berkembang menjadi makna mengetahui secara luas pikiran dan perasaan sebagai buah kebudayaan, dan mempunyai kemampuan secara baik untuk menyampaikan gagasan-gagasannya secara lisan dan tulis.

Di negeri yang telah sukses menyelenggarakan pendidikan, sehingga menjadikan masyarakat melek huruf, idealnya budaya baca tumbuh dengan baik dan segala macam bacaan dapat tersedia. Setelah kita bebas dari kegelapan (bebas "tiga buta": membaca, menulis, dan berhitung) tentu kita membutuhkan banyak bacaan. Kita membutuhkan sejumlah besar bacaan yang sesuai dengan kondisi kemelekhurufan masyarakat saat ini.

Untuk memenuhi harapan tersebut bukanlah pekerjaan yang mudah. Banyak sekali kendala yang menghadang. Dan, persoalan yang mendasar ialah sangat kentalnya budaya lisan yang masih melekat pada masyarakat. Sesungguhnya telah terjadi lompatan budaya pada masyarakat kita, yaitu dari budaya lisan ke budaya berburu informasi instan melalui teknolgi elektronik. Sementara kebiasaan membaca belum pernah menjadi kebutuhan (budaya). Maka tidak heran jika human development index (HDI) berdasarkan angka buta huruf menunjukan bahwa  Indonesia menempati urutan ke-112 dari 174 negara di dunia yang dievaluasi, sedangkan Vietnam menempati urutan ke-109. Padahal, Vietnam baru saja keluar dari konflik politik yang cukup besar. Hal itu tidak lain akibat membaca belum menjadi kebutuhan hidup dan belum menjadi budaya bangsa kita.

Adalah sangat realistik jika dalam menindaklanjuti melek huruf menuju pembudayaan membaca, tanggung jawabnya dikembalikan kepada pemerintah, masyarakat, dan keluarga. UNESCO telah menyatakan  bahwa pengaruh yang paling besar dalam menumbuhkan minat baca adalah datang dari lingkungan keluarga. Selanjutnya adalah lingkungan sekolah karena hampir seperempat waktu hidup anak berada di sekolah. Adapun lingkungan yang terakhir adalah masyarakat: apakah tempat bermain, tempat bekerja, tempat beribadah, atau yang lain.

Kendala Minat Baca

Minat baca masyarakat tidak pernah mendapat perhatian yang serius. Pendidikan yang dilakukan masih terbatas pada pelajaran teoretis, belum menyentuh pada aspek pembiasaan belajar mandiri, yaitu melalui pembudayaan membaca. Guru sibuk memenuhi tuntutan agar bagaimana siswanya dapat menjawab soal ujian nasional (UN) yang bersifat sangat kognitif. Jika sistem pendidikan di bangku sekolah yang dikembangkan hanya aspek kognitif dan hafalan-hafalan, bangsa ini tidak akan berubah.

Ketika melihat siswa sedang membuka buku maka sudah dapat ditebak bahwa mereka sedang menghafalkan materi pelajaran. Betapa sibuknya para siswa untuk mengejar target agar dapat mengerjakan soal-soal ujian. Mereka mengikuti bimbingan belajar, tambahan jam pelajaran di sekolah, les privat, dan mengerjakan PR. Semuanya dikerjakan berdasarkan instruksi-instruksi. Tidak ada kesempatan untuk mengembangkan dengan cara belajar mandiri melalui bacaan dan mencari informasi yang sesuai dengan keinginan mereka. Akibatnya belajar dianggap sebagai hukuman atau kegiatan yang menyiksa.

Soeharto (penguasa Orde Baru) pernah membuat beberapa instruksi (inpres) terkait dengan pembudayaan membaca. Ketika peringatan Hardiknas '95, Soeharto (ketika itu Presiden RI) menginstruksikan kepada para orang tua untuk menjadikan "buku sebagai sahabat keluarga". Kemudian, hal itu ditindaklanjuti dengan dijadikannya September sebagai bulan kunjung perpustakaan. Lantas, tanggal 7 Desember 1995, Soeharto mencanangkan “Gerakan Wakaf Buku Nasional”. Sayang, instruksi presiden itu hanya menjadi pepesan kosong belaka atau lebih sebagai pencitraan semata.

Benar apa kata Charles ”Fremendeous” Jones, bahwa hari ini Anda adalah orang yang sama dengan Anda pada lima tahun mendatang, kecuali dua hal: peran orang-orang di sekeliling Anda dan buku-buku yang Anda baca. Orang di sekeliling kita yang terdekat ialah keluarga. Masih sangat jarang dalam sebuah keluarga ada atmosfir yang mendukung tumbuhnya minat baca. Keteladanan orang tua, ketersediaan bacaan, ruang dan waktu untuk membaca masih menjadi barang langka. Buku belum dijadikan sebagai teman utama dalam lingkungan keluarga.

Fungsi Perpustakaan

Perpustakaan adalah sebagai agen menumbuhkan budaya baca masyarakat. Jika masyarakat menganggap bahwa mahalnya harga bahan bacaan sebagai penyebab tumbuhnya minat baca, jawaban untuk memperoleh bahan bacaan ada di perpustakaan. Dengan kata lain, jika dikatakan bahwa rendahnya minat baca masyarakat disebabkan oleh mahalnya bahan bacaan  (buku) tampak kurang beralasan.

Keberadaan perpustakaan harus terus diberdayakan, dari perpustakaan keluarga, RT, RW, desa, perpustaakaan instansi, hingga perpustakaan nasional, dan bahkan pada  perpustakaan di tempat-tempat ibadah. Memang sudah banyak perpustakaan di mana-mana, tetapi masih bersifat sebagai pelengkap dan hiasan semata. Masyarakat belum tergugah terhadap keberadaan perpustakaan, bahkan masih banyak yang bersikap apriori. Pengunjung perpustakaan setiap hari masih dapat dihitung dengan jari sebelah tangan.

Perkembangan lembaga perpustakaan saat ini sebenarnya telah menjadi "agen" pelayanan informasi bagi masyarakat kontemporer. Lembaga perpustakaan akan terus menyempurnakan perannya sebagai "hutan"-nya ilmu pengetahuan. Karenanya, para pustakawan dituntut mengambil peran yang besar sebagai cermin sentral dalam menumbuhkan minat baca masyarakat dan pendidikan sepanjang hayat. Pustakawan bukan hanya ”tukang”, yang pekerjaannya hanya menjaga, menata buku, dan melayani peminjaman.

Langkah sejarah telah membawa perpustakaan memasuki zaman educational and research function. Dengan paradigma itu telah mengangkat perpustakaan pada kedudukan yang terhormat, yaitu sebagai pusat kegiatan pendidikan dan aktivitas ilmiah. Pustakawan sangat berkepentingan mengambil peran yang mendasar, seperti dalam perencanaan dan pembinaan sistem pendidikan, penyuluhan dan bimbingan di dalam proses belajar mengajar, serta membangkitkan gairah kepada masyarakat untuk selalu memanfaatkan perpustakaan dalam meningkatkan kualitas hidupnya.

SHARE :
CB Blogger

Posting Komentar

 
Copyright © 2015 SKB Bireuen. All Rights Reserved. Powered by Blogger
Template by Ijalnewbie and Zarqive Studio-Design